Posted in Essays and Articles on Juli 31, 2010 by fhan vicious

Sampai kapan manusia menuruti kemarahan mereka?

Kapan manusia  akan menyerah atas tuntutan mereka?

Kesadaran diri untuk mendapatkan keikhlasan,

keikhlasan untuk mencapai dan mensyukuri nikmat dari tuhan semata.

Bukankah itu adalah kebahagiaan? Apakah itu yang dicari dan diimpikan setiap manusia?

Menyerahlah. Karena tidak pernah ada peperangan kecuali kita yang menciptakan.

Why should People Respect Each Others?

Posted in Essays and Articles on Juni 22, 2010 by fhan vicious

Call it, he is lying or a lie when you hear someone said that he don’t need to be liked, respected, accepted, or, appreciated. Don’t believe someone who says, “I don’t care wether people like me or not.”, because it is another lies in other form of words. But, why it is a lie? Because, deep down inside ourselves, we are long to be liked. We need to be respected or appreciated. More the same, everybody wants to be accepted, and be respected. It is our nature as a human being.

The needs for public acceptance has been noted by Maslow, one of prominent humanistic psychologist, through the pyramid of needs. The needs to be acclaimed emerges as self-esteem-needs. It means, being ignored will irritates ones pride that could damage the relationship etween people. So,  it is obvious if we should respect each others.

“Persandingan Titik Hitam, dan, Tanda Tanya Besar di Tengah Malam”

Posted in Uncategorized on Maret 24, 2010 by fhan vicious

. & ?

“Siapa Perlu di Do’a?”

Posted in puisi on Maret 24, 2010 by fhan vicious

“Ya Tuhan… Sadarkanlah saudara-saudara kami. Mereka semua sedang khilaf.” Do’a petinggi-petinggi agama karena, masyarakat telah kehilangan akal sehat.

“Kamu sudah tak lagi didengar?” Malaikat bertanya

“Ya.” Jawab mereka.

“Wajar sajalah! Mana ada orang yang mau mendengar kata-kata orang gila?!” malaikat bertasbih kembali setelahnya.

-TM, 16/ 02’10-

“Dunia Saya”

“Kesempatan-Kesempatan”

Posted in puisi on Maret 24, 2010 by fhan vicious

Sore itu kamu beranjak dari tempatmu.

Berjalan penuh kenggunan, dan, enggan

untuk merendahkan dagu.

Tiap langkah mu menjauhkan ku pada ketidakgusaran.

Meniupkan debu pembuat wajah saru.

Jangan salahkan dirimu.

Ini kebodohanku.

Seharusnya aku memanggilmu sore itu.

Tapi jangan tunggu, aku pasti akan menghampirimu.

-TM, 16, Feb 2010- “Dunia Saya”

“Neraka itu ada di Surga”

Posted in Prosa on Maret 24, 2010 by fhan vicious

Kata siapa surga itu ada disini? Hah?! Itu semua omong kosong belaka. Bualan para pemimpi dan pencari yang lari dari kenyataan. Bukan, bukan surga yang ada disini. Tapi, neraka itu ada disini. Ya. Itu kata mereka.

Disini. ditempat ini, mereka menganggap neraka itu pasti disini. Ditempat ini, dimana tubuh sekaratku tergeletak lunglai diatas lantai. Dimana tubuh teman-teman ku yang kami semua merasa bahwa darah yang mengalir dalam masing-masing tubuh kami sehingga daging-daging yang juga berada didalamnya dapat bergerak, bekerja dan lebih tepatnya hidup adalah darah yang sama satu sama lain. Namun, itu semua sudah lewat atau lebih tepatnya kejadian masa lampau karena sekarang teman-temanku bukan lagi manusia. Meskipun mereka berada disebelahku, tetap saja mereka bukan lagi manusia karena sudah tak bernyawa. Ya, silahkan saja bilang mayat kalau kau tidak ingin ambil pusing!

Sebenarnya, kami semua adalah para pemimpi dan pencari yang lebih memilih untuk menjadi petualang-petualang tangguh yang tiap detiknya selalu melalang buana ke seluruh pembuluh-pembulu dunia. Hingga akhirnya, kami semua merasa bahwa kami lah pemilik, penguasa yang bisa melakukan apa-apa seenak perut kami di atas dunia. Ya, kami lah penguasa dan karena itu wajar bagi penguasa untuk memandang rendah norma, meludahi tata karma dan menganggap remeh materi. Kami-kami ini adalah pengendali atau manusia-manusia yang bebas dan lepas. Jika diibaratkan, kami-kami ini adalah raja-raja yang mempunyai  tongkat ajaib yang berisi nilai dan sihir apresiasi.

Tapi, kau boleh saja berkata bahwa kami ini hanya segelintir berandalan yang hidup terlalu lama di jalanan. Karena, aku yakin dengan cara kau memandang dandanan kami yang menyeramkan, jubah-jubah bercahaya berupa gambar atau tulisan yang tertera dikulit kami dengan permanen, busana seadanya yang dipenuhi sobekan akibat termakan waktu, rantai-rantai, gelang dan giwang pasti juga akan mendukung pikiranmu untuk berfikir seperti itu.

Tapi kau jangan salah! Silahkan saja berfikiran bahwa kami cuma gembel. Tapi jangan membuat kami tersinggung dengan menganggap kami pengemis. Bisa fatal akibatnya jika kami tersinggung dengan anggapan seperti itu. Karena tidak ada penguasa yang akan terima dengan anggapan seperti itu. Terlepas dari itu, kami memang tidak pernah memohon atau mengais-ngais rasa kasihan dari mu atau orang lain. Percayalah, bahwa kami memang penguasa. Karena sebentar lagi kau akan mengetahui betapa kehebatan kami melebihi mu bahkan melampaui penguasa asli negri ini sekalipun. Nah, bukankah kata-kata ku barusan sudah cukup menggambarkan kehebatan kami? Jika kau cukup pintar, aku yakin kau pasti mengerti.

Oh, tentu tidak apa-apa jika kau tidak sepintar yang ku harapkan. Aku dengan senang hati merelakan diri untuk menceritakan. Mari kita bicarakan kehebatan seorang kawan dariku. Kau boleh menganggap ia kawanmu juga maka pasti ia akan sangat senang karenanya. Ya betul, tubuh tergeletak tak bernyawa yang berada disebelah sana itu miliknya.

Kawan kita itu sering berprilaku tak wajar semasa hidupnya. Tapi itu kata orang-orang. Bagi kami, ialah yang paling wajar walaupun kata ‘aneh’ melekat pada dirinya hingga menjadi sebuah kaata yang cukup jelas untuk menggambarkan perangainya. Tapi, percayalah jika ada sebuah pengargaan dengan kategori manusia paling ramah dan sopan sedunia, kawan kita ini pasti jadi juaranya tanpa perlu masuk nominasi. Karena aku yakin betul sebelum kata ‘sopan’ dan ‘ramah’ terbesit dibenakmu, kawan kita itu pasti sudah bertingkah seperti itu. Nyatanya, memang bayak yang mengenalnya seperti itu. Dan, jika kau mau, coba saja kau hitung berapa banyak jumlah teman kawan kita ini lalu bandingkan dengan jumlah teman penguasa asli negri ini yang sudah tentu ia kalah sopan dan kalah ramah dari kawan kita.

Nah disebelah kawan kita itu, yang sedang telungkup tanpa nyawa adalah sahabatku. Silahkan tanyakan hal apapun padanya maka kau pasti akan mendapatkan jawabannya. Paling tidak, jika ia tidak mampu menjawab, pasti ia akan mencari jawabannya bersama dengan mu sampai ketemu. Aku berani bertaruh, jika ia diadu dengan “buku pintar”, pasti sahabatku itu jauh lebih pintar dari si “buku pintar”. Oh, jangan meragukan bualanku teman. Karena kenyataannya, waktu nogbrol ku dan sahabatku itu seringkali terganggu karena ada saja orang yang menyempatkan diri untuk meminta pengetahuan dari sahabatku itu. Tentu saja kau juga harus menghitungku sebagai salah satu dari orang-orang itu. Nah, sekarang giliranku bertanya padamu – jika ingin bukti lebih lagi. Apakah pemimpin negri ini mampu menjawab semua pertanyaan? Jika jawabannya tidak, maka tidak ada gunanya mengganti subjek pertanyaan menjadi dirimu. Haha, kalau begitu pertanyaanku barusan adalah pertanyaan yang bodoh karena percuma saja bertanya jika sudah tahu jawabannya.

Hey, kau mau kemana? Janganlah beranjak! Sudah, simpan dulu niatmu untuk pergi karena aku belum selesai menceritakan semuanya. Yang barusan itu belum ada sebagian dari keseluruhan ceritaku. Sudah, lebih baik kau lihat dulu orang yang terduduk dengan lubang menganga di kepala di ujung sana.

Ya, dia itu teman dekatku. Jangan tanya dia bisa apa karena aku akan menjelaskannya padamu. Kita lihat terlebih dahulu sosoknya yang beringas. Benar, dia itu totalitas dalam bidang kriminalitas. Sebutkan saja jenis-jenisnya dari ‘a’ sampai ‘z’ maka ia pasti sudah mencicipi semuanya. Dan, yang lebih mengherankan lagi, dalam sekian tahun ia melakukan berbagai macam kejahatan, ia hanya keluar masuk penjara dua kali. Jangan salah, ia tidak pernah melakukan hal kotor seperti menyogok atau apapun itu. Ia orang paling bertanggung jawab atas apapun yang ia lakukan.

Aku ingat waktu itu ia pernah berlari keluar masuk kampung. Tentu saja dengan massa yang mengamuk karena barangnya dicuri oleh teman dekatku itu. Namun, yang menjadikan pengalamannya lebih menarik adalah ia sampai harus menginap semalaman disebuah bak sampah besar demi kelangsungan hidupnya (jangan tanya baunya seperti apa karena kau pasti bisa membayangkan sendiri). Ironisnya, tapi, bagi kami ini hal yang amat menggelikan, keesokan harinya, ia mengamuk habis-habisan setelah membaca koran tentang kehidupan yang mewah dalam penjara. Ya, menurutku wajar-wajar saja ia mengamuk dan kami semua tertawa waktu itu karena barang curiannya amat tidak sebanding dengan pencuri yang ada di dalam penjara sana. Bagaimana menurutmu? Apakah benar hal itu wajar? Kali ini aku yakin sekali aku mengetahui jawabanmu.

Tapi, terlepas dari itu, kau harus tau bahwa ia melakukan hal-hal itu bukan untuk dirinya sendiri melainkan orang-orang yang lebih membutuhkan. Ia malah tidak pernah menikmati hasil curiannya. Oh aku hampir lupa mengatakan bahwa kami semua menjulukinya “Robin Hood” walaupun dalam versi yang berbeda tentunya.

Sebenarnya ada beberapa orang lagi yang belum kuceritakan. Tentu saja termasuk diriku sendiri. tapi, aku khawatir waktuku tidak akan cukup untuk menceritakan semuanya.

Jadi, kami semua tinggal di sebuah rumah tua kosong yang sudah porak poranda. Tidak layak untuk ditinggalkan manusia jika boleh dikata. Biarpun kenyataannya seperti itu, kami semua tidak pernah mengeluh tentang rumah yang cukup memberikan kami perasaan bahwa kami berada dirumah.

Kami semua berbagi sengsara disana. Juga sudah pasti kami tidak pernah sungkan membagi suka cita bersama. Tapi, kami bukan orang-orang manja yang tidak merasa menjadi seorang manusia sempurna jika salah seorang dari kami ada yang sedang pergi atau tidak bersama kami. Coba saja kau lihat sekitarmu kawanku yang baik hati. Aku yakin diluar sana banyak yang merasa mandiri namun kenyataannya, tidak pernah berani untuk berdiri sendiri. Jika kau telah melihat faktanya, lalu tanyakan pada dirimu, apakah kau termasuk orang yang seperti itu? Aku yakin jika kau pintar maka kau tidak termasuk. Namun, jika tidak, belajarlah lebih giat maka kau akan pintar karenanya.

Kembali lagi ke cerita kami, maaf sebelumnya jika terkadang aku melenceng jauh dari pokok pembicaraan karena pada dasarnya aku sangat mencintai sebuah obrolan yang merembet kemana-mana. Nah kata-kataku barusan adalah buktinya. Ya, tentang kami. Kami bisa hidup bersama sampai mati pun, juga bersama, bukan karena ada hal-hal yang serupa dari kami. Kami tidak menganggap persamaan adalah bentuk dari persatuan walaupun satu-satunya kesamaan dari kami semua adalah perbedaan yang membentuk jati diri masing-masing dari kami. Ya, katakan saja kami bersama karena berbeda.

Perbedaan yang ku maksud adalah bagaimana kami memandang sebuah kehidupan yang amat sangat indah dari sudut pandang dan pola pikir kami. Sehingga membuat kami semua menyikapi hidup dengan cara yang berbeda-beda. Walaupun, ujung-ujungnya kami semua sama-sama bersyukur karena sempat hidup. Selain itu, bagiku, kehidupan adalah sama seperti wanita. Indah, lembut, dimuliakan tuhan dan penuh enigma. Oya, jangan salah, aku bukan penggila wanita, dan kau harus ingat itu teman.

Perbedaan juga mengambil alih cara kami dalam menghabiskan waktu sehari-hari. Bagiku, aku cukup dengan mengobrol dengan siapapun yang kuinginkan untuk mengobrol bersamaku. Salah seorang dari kami juga ada yang menghabiskan waktu untuk membuat suatu hal yang berguna. Misalnya, membuat sebuah karya apapun itu bentuknya kami semua pasti akan memberikan apresiasi dan ia yang membuat juga tidak akan pelit atau enggan untuk menumpahkan ilmunya pada siapapun yang berkenan memintanya.

Semua kami lakukan sendiri. Semua yang ada disini, kami bangun sendiri. Tentu saja dengan usaha yang bukan mengemis atau mengais-ngais belas kasihan orang lain. Kami berharga diri tinggi asal kau tahu. Karena itu tadi ku bilang kami akan mengamuk jika dibilang pengemis.

Kami semua para pemimpi yang menggantungkan mimpi-mimpi kami amat sangat tinggi. Tentu saja bukan sekedar menjadi konglomerat karena itu adalah mimpi rendahan bagi kami. Kami semua bermimpi untuk menjadi sesuatu hal yang hebat tapi bukan untuk mencari eksistensi. Eksitensi itu akan datang dengan sendirinya tanpa perlu dipikirkan ketika kau telah mencapai mimpimu. Ya, itulah yang telah kami lakukan. Karena, hanya sinting yang meyakini mimpi.

Kami juga para pencari. Pencari surga lebih tepatnya. Karena itu kami berkelana melanglang buana hingga tersasar di alam fana lalu, sampai akhirnya terpisah dari hal-hal nyata dan pindah tempat ke medan imajinasi sampai akhirnya kami lari tunggang langgang karena kepentok masalah yang timbul akibat iri hati dan dengki si orang-orang yang merasa tidak senang karena dihinggapi kami.

Mereka itu orang-orang milik penguasa sebenarnya. Yang terlalu egois dan maunya menang sendiri sehingga mengirimkan orang-orang suruhan mereka untuk mendatangi kami dengan cara yang amat sangat tidak sopan. Bayangkan saja, mereka memukuli kami satu persatu sementara mereka berbadan kekar dengan borgol resmi dan mainan-mainan mengerikan yang digunakan untuk menyiksa kami semua. Oh, kami telah diperlakukan lebih hina dari binatang. Lebih keji dari fitnah-fitnah orang yahudi terhadap nazi. Lebih menyakitkan dari pembantaian yang dilakukan Genghis khan.

Namun, mau bagaimanapun hal ini sangat melegakan bagi kami. Benar-benar terasa seperti surga karena kami akhirnya menemukan yang kami cari disini. Yaitu akhir dari cerita kami. Soal kehebatanku, aku yakin pikiran sekarat milik pemimpin negri ini tidak akan banyak berkata apa-apa ketika ia sekarat nanti. Jika nanti benar begitu, maka kau akan setuju bahwa aku lebih hebat dari pemimpin negri ini sebab inilah pikiran dari diriku yang sedang sekarat. Masih sanggup menceritakan banyak hal padamu. Benar bukan begitu kawan?

Sekarang, kita kembali ke pertanyaan pertama karena aku sangat lelah dan ingin cepat-cepat beristirahat. Bagi mereka, neraka itu ada disini. Karena itu mereka menghancurkan tempat ini dan membuatnya serupa seperti neraka.

Lalu, kata siapa surga itu ada disini?

Kataku. Akulah yang tadi berkata bahwa surga itu ada disini. Dan, teman-temanku juga berkata hal yang sama. Maka, bagi kami, “Surga itu ada disini.” Lalu, bagaimana denganmu kawan? Apakah kau berkata hal yang serupa sehingga kalimatnya berubah menjadi, kita berkata bahwa surga itu ada disni. Jika kau mau maka benar bahwa neraka itu ada disurga.

“Untuk Median Rahadi, Wisnu ‘Wizard’, Rizal Nuralpha,  Bang Mahe ‘Der Fuhrer’, RP, Budi dan semua Teman saya.”

Posted in Prosa on Januari 24, 2010 by fhan vicious

Cerita Bercerita

Ada sebuah gua disana. Ditempat yang jauh dari jangkauan tangan-tangan manusia. Gua yang gelap, penuh bebatuan tajam yang dipenuhi hawa lembab mencekam dan deru angin yang menyerupai geraman mehluk menyeramkan yang hidup di dalam sana. Beberapa orang yang tinggal di desa dekat dengan gua itu mengatakan bahwa memang benar ada mahluk yang menyeramkan dan ganas yang telah lama hidup di dalam sana hingga konon, tidak ada seorang pun yang berani walaupun hanya mendekati gua itu di kaki-kaki bukit yang dikelilingi hutan lebat di pinggiran desa itu.

“mahluk besar. Sangat besar! Seperti raksasa berbulu dengan taring-taring runcing yang siap menerkam dan melumatkan daging manusia mana saja yang na’as karena mendekatinya!” tukas salah seorang penduduk desa yang mengaku mengetahui mahluk itu dari kerabat jauhnya.

“konon, matanya berwarna merah menyala. Mahluk besar haus darah berkuku tajam dan kepalamu akan putus jika terkena tebasannya!” seorang tetua desa menambahkan. Ia mengaku bahwa beberapa temannya pernah terbunuh oleh mahluk itu dan entah bagaimana ia dapat mengetahui ceritanya.

“ya, benar! Mendengar raungannya, darah yang mengalir dalam tubuhmu akan berhenti dan membeku, lalu kau tidak lagi bisa bergerak dan dengan sekejap mata saja, kau telah dimakannya! Kau akan merasakan bagaimana daging-daging yang ada dalam tubuhmu dilumatnya. Sebelum itu, kuku-kukunya yang tajam akan merambah kulitmu hingga sobek dan setelah daging mu habis dimakannya, kau sendiri yang akan mendengar gemerutuk-gemerutuk tulang yang sedang dikunyah bagaikan hidangan penutup baginya” kata seorang pemuda yang membenarkan cerita itu dan menjelaskan dengan suara bergetar ketakutan. Ia bilang bahwa kerabat dekatnya pernah tertimpa nasib buruk yang baru saja ia ceritakan.

Sebenarnya desa yang keberadaannya tidak jauh dari gua tersebut adalah sebuah desa kecil mungil yang indah. Warna hijau dari daun-daun, rumput dan pepohonan mengisi setiap sudut desa itu. Selain itu, penduduk yang tinggal disana juga amat ramah.

Hanya saja tidak diantara mereka yang bercerita tentang mahluk itu benar-benar pernah melihatnya langsung. Karena, mereka sendiri pun selalu ketakutan dengan cerita tersebut. Hingga akhirnya, cerita itu seolah berkembang menjadi sebuah tirani yang mencengkram desa itu berikut para penduduk yang tinggal disana dan menjadi permasalahan di desa itu.

Sudah pasti cerita tentang gua dan mahluk yang berada didalamnya tidak akan menjadi sebuah permasalahan yang tidak akan muncul tanpa sebuah masalah yang memicunya, dan adalah sebuah masalah jika ternyata pertanyaan tentang mahluk itu merambah pikiran seseorang yang menjadi penasaran sehingga menuntut jawaban darinya.

“apakah benar mahluk itu sangat menyeramkan seperti yang dikatakan cerita-cerita mereka? Jika yang bertatapan dengan mahluk itu pasti mati dimakannya, lalu, bagaimana mungkin cerita itu dapat tersebar luas dan terdengar sehingga diceritakan kembali oleh mereka yang belum melihatnya?” itulah pertanyaan yang muncul dalam benak seorang anak kecil perempuan yang tanpa sengaja, mendengar cerita itu hampir di setiap harinya di malam hari.

Sebenarnya, cerita tentang mahluk dan gua menyeramkan itu tidak benar-benar sengaja ditujukan kepadanya. Karena, cerita itu bukanlah hal yang layak bagi anak itu. Tapi, karena rumah anak itu adalah sebuah kedai yang dikelola oleh kedua orang tuanya, dan, banyak para pelancong dan pengelana yang singgah disana hampir setiap malam, dan mereka semua sering menanyakan atau sengaja diceritakan tentang gua dan mahluk itu oleh penduduk desa yang memang sering berada di kedai itu. Tentu saja dengan maksud yang baik pada dasarnya walaupun hal itu menjadikan anak kecil perempuan itu menjadi semakin penasaran dan semakin terpikat dengan pertanyaan dalam kepalanya hingga akhirnya anak itu nekat untuk mencari tahu kebenaran dari cerita yang menjadi permasalahan di benaknya.

Tidak ada yang salah dengan keputusan anak ini. Hanya saja kepolosan dalam benaknya mengakibatkan pikirannya menjadi sebuah penolakan terhadap dikte-dikte yang jika ditelusuri samapi habis, selalu membuahkan hasil yang sama pada tiap-tiap orang yang berbeda yaitu sebuah cerita yang selalu diawali dengan ‘katanya’.

Anak itu melakukan perjalanannya di siang hari karena dengan begitu, kedua orang tuanya hanya akan mengetahui bahwa ia sedang bermain dengan teman sebayanya di desa. Akhirnya setelah menyelusuri hutan lebat yang gelap, anak itu dapat melihat mulut gua yang telah lama bersemayam dikaki perbukitan yang megah dan curam.

Udara disana dingin dan cuaca pada malam itu juga menambahkan uap disetiap hembusan nafas yang keluar dari lubang hidung anak kecil itu. Setelah berhadapan dengan mulut gua, anak itu berhenti sejanak menatap kegelapan yang mengisi seluruh gua itu sehingga tampak seperti tembok hitam yang amat kokoh.

Tidak ada sedikitpun ragu atau rasa takut yang terbesit dibenak anak itu walaupun ia hanya ditemani sebuah boneka beruang kucel dan lusuh dalam genggaman tangannya. Ia melangkahkan kaki-kaki kecilnya masuk kedalam gua itu seolah ia ditelan tembok hitam kokoh yang tadi berada dihadapannya.

Deru angin di dalam gua memang terdengar jelas. Namun, anak itu masih belum melihat tanda-tanda keberadaan mahluk yang hingga sekarang masih sebuah angan belaka. Semakin jauh anak itu melangkah, semakin gelap gua itu. Bebatuan yang menyusun tata ruang gua itu juga semakin tak beraturan hingga membuat jalan anak itu terseok-seok. Namun, anak itu tidak mau berhenti, ia terus melangkahkan kakinya lebih jauh lagi kedalam gua hingga ia menabrak sesuatu yang menghalangi jalannya.

Ditengah gelapnya gua, sepasang cahaya berwarna merah muncul seperti sebuah tirai menutupi kedua cahaya itu dan sekarang tirai itu diangkat perlahan. Anak itu tersadar bahwa kedua cahaya yang berada dihadapannya adalah mata milik mahluk yang tinggal dalam gua itu dan sekarang sedang menatapnya tajam. Sesaat, deruan angin sekarang bercampur dengan suara geraman yang mengerikan.

Anak itu seperti membeku. Ia tahu bahwa seharusnya ia melarikan diri namun seluruh tubuhnya seperti tidak mengizinkannya dan ia hanya mengeratkan genggaman tangan pada boneka beruang yang berada dalam genggamannya.

Dalam sekejap, gua yang gelap mejadi terang seolah gua itu ingin memamerkan wujud mahluk besar yang dipenuhi bulu berwarna abu-abu pudar dengan taring yang panjang dan kuku-kuku tajam di kaki dan tangannya. Mahluk itu sangat besar. Begitu besar hingga ia seperti harus membungkuk walaupun langit-langit gua yang berhiaskan stalaktit itu tidak rendah.

Mahluk itu meraung dihadapan anak kecil yang memjamkan matanya dan bergeming dengan wajah pucat ketakutan. Setelah mahluk itu berhenti meraung, anak itu membuka kedua matanya lagi. Ia mencoba bersopan santun dengan harapan mahluk itu menjadi tidak tega untuk memakannya.

“ha… halo… mmon… monter…” sapa anak itu terbata-bata.

Monster itu mendengus, mendekatkan hidungnya mengendus aroma dari tubuh anak itu. Lagi, monster itu meraung tepat dihadapan wajah anak itu hingga rambutnya berkibar karena angin yang berhembus keluar dari mulut monster itu dan kali ini raungannya lebih menyeramkan dari sebelumnya karena ditambahkan dentuman-dentuman kaki yang dihentakkan sehingga membuat seluruh isi gua terasa bergetar.

Anak itu tidak beranjak. Kali ini, ia tidak takut. Ia bahkan merasa bahwa ia pantas untuk dimakan karena telah melakukan hal yang salah.

“aku tahu kau lapar atau kau marah karena lancing memasuki rumahmu tanpa izin dan membuatmu terganggu” ujar anak itu. Ia mengambil satu langkah mendakati mulut sang monster lalu berujar lagi “silahkan makan aku tuan monster jika kau ingin memakanku karena kesalahanku”.

Anak itu memejamkan matanya setelah berkata demikian. Ia pasrah dan membiarkan tubuhnya dimakan karena kesalahan yang ia lakukan sendiri.

Anak itu merasa sang monster sedang mendekatkan mulutnya. Ia dapat merasakan hembusan angin hangat keluar dari hidung sang monster yang menerpa wajahnya. Sangat dekat hingga ia dapat mendengar deru kasar dari dalam tubuh monster itu. Namun, dalam benaknya, ia menerka-nerka apa yang akan dilakukan mahluk yang berada dihadapannya walaupun ia sudah merasa gentar saat membayangkan bagaimana taring runcing itu menghancurkan daging-daging dalam tubuhnya atau cakar tajam yang mengoyak dan merobek seluruh tubuhnya.

Tapi, nyatanya angan dalam benaknya tak kunjung tiba setelah ia menunggu cukup lama dengan mata terpejam. Setelah menunggu waktu yang menjadi sebuah ujung bagi nasib hidupnya, ia memberanikan diri untuk membuka matanya dan mendapatkan monster itu terduduk diam.

“kenapa kau tidak memakanku?” monster itu tidak menjawab dan tidak juga menggerakkan tubuhnya sedikitpun.

“ayo makan aku. Apa karena tubuhku terlalu kecil?” kata anak itu dengan lebih berani seraya mendekatkan dirinya pada monster itu. Sekarang ia yakin bahwa monster itu tidak akan melukainya dengan sengaja.

Ia tersadar bahwa sewaktu ia melangkah mendekatkan diri, monster itu juga mundur dan mengeluarkan suara lengking yang disertai raut wajah melas. Tingkah monster itu tidak lagi menakutkan. Mahluk itu bahkan lebih persis anjing yang takut akan hukuman tuannya.

“aku mengerti sekarang” ucap anak itu sambil tertawa kecil penuh kepuasan. Ia lalu menjulurkan tangannya, “halo, salam kenal monster” ujar anak itu benar-benar ramah.

Monster itu mengulurkan tangan berbulu dan besar dengan perlahan. Ketika tangan mereka saling bersentuhan, anak itu melihat sebuah perbedaan yang jelas. Bukan karena bentuknya yang berbeda. Tapi, bagaimana cara anak itu menjulurkan tangannya dengan penuh keyakinan dan didasari niat yang tulus atas pengetahuannya yang membuatnya tidak merasa ragu lagi dengan hubungan pertemanan yang ia lakukan dan bagaimana monster itu menerimanya dengan keadaan yang terbalik dari anak itu.

“sekarang, kau dan aku adalah teman” ujar anak itu dengan riang.

Anak itu sempat bermain bersama teman barunya. Namun, karena hari semakin malam ia harus kembali kerumahnya bersama orang tua yang pasti sedang menanti. Ia yakin bahwa kedua orang tuanya pasti akan memarahi dirinya karena perjalanan pulang yang panjang akan membuatnya sangat terlambat tiba dirumah. Namun, hal itu tidak terjadi karena teman barunya mengantarkannya dengan cepat ketempat yang dekat dengan desa tempat tinggal anak itu.

Di gua itu, anak kecil itu meninggalkan boneka beruang kesayangannya untuk sang monster dan terkadang ia menyempatkan diri untuk bermain bersama teman yang berupa menyeramkan itu. Sampai sekarang, tidak ada satu pun penduduk desa yang mengetahui pertemanannya dengan gua di dalam sana. Tidak ada juga yang mengetahui kebenaran dari cerita tentang gua dan mahluk yang tinggal beratus-ratus tahun di dalam sana dan semua penduduk desa masih menganggap cerita tentang gua dan mahluk itu sangat menyeramkan dari apa yang menjadi kebenaran. Anak itu lebih memilih diam. Ia merasa lebih baik menyimpan kebenaran pada dirinya sendiri. Namun, setelah ia cukup besar, ia akhirnya menceritakan cerita tentangnya pada orang yang berada diluar desa yang ia temui. Karena, dengan begitu, mereka yang dari luar sana lah yang akan membuktikan sendiri kebenaran tentang cerita yang dimilikinya.

Biadabnya Diri Saya

Posted in puisi on Desember 24, 2009 by fhan vicious

Mungkin… tuan benar,

Saya yang salah.

Betul, tuanlah yang gagah,

sedangkan saya hanya abdi yang lemah.

Iya… Benar… nona benar-benar benar.

Saya memang layak dibakar!

Dibakar dengan api fitnah

yang dipenuhi amarah.

Silahkan tuan…

Lekas nona…

Tuduhlah Saya…

Remahkanlah Saya, dan pandanglah Saya

dengan sebelah mata.

Mungkin… mereka benar,

Saya terlalu aneh.

Terlalu aneh hingga membuat mereka meleleh!

Meleleh karena panas hati mereka melihat tingkah Saya.

Maafakan Saya tuan dan nona…

Maaf… tuan dan nona benar…

Iya, benar, salahkan Saya.

Musuhi, kucilkan, asingkan dan

jika perlu, singkirkan saja Saya!

Karena Saya terlalu bebas untuk berkarya!

Karena Saya terlalu lepas hingga jadi berbahaya!

Adalah sebuah kesalahan bagi mereka

jika berfikir dengan cara yang berbeda.

Mereka bilang “Saya memanulasi!”

nyatanya, Saya hanyalah suara minoritas

yang berfikiran tanpa ruang waktu atau dimensi.

Saya destruktif! Kata mereka.

Katakanlah Saya Impulsif

dan berprilaku primitif.

Ya, benarm tuan dan nona tidak salah.

Dan benar apabila Saya manusia sempurna

karena ketidaksempurnaan dan…

karena biadabnya diri Saya.

24 desember 2009

“DUNIA SAYA”

Thafhan Muwaffaq

Evening Cigarette

Posted in puisi on Mei 23, 2009 by fhan vicious

on the evening blue and red mixture.
Thoughts come up like a vivid vision.
O hey, the world’s full of different gesture,
of minds, thoughts, tastes and else as a conclusion.

Smoke blows out, turns everything in obscure
reasons of it waving on the television
Yea it’s true, true that everythig’s firstly pure
and after all, they added justification

Then, we shall think about the whole.
It is all not same but as one.
Take in on different point of view then it seems as a complex hole.
Then, with no tolerance, each like pointing and ready to shot gun.

we know that none is the model of role.
we too know no such thing perfectl done.
why hey, don’t we let it all in one hole.
so the positivity comes up is anger of none.

is it us or them?

Posted in Uncategorized on Mei 10, 2009 by fhan vicious

So, they might say
“do this, do that for good sake”
then, hey!, can’t we do it our way?
We just don’t want to get ourselves in fake..

So, at us they stare
In cynical or negative judgement and all
then, they mentioned about “beware!”
be aware of stuck or hit the wall

so, we all say
“we know what is in good sake”
“everybody has their own way”
“we just don’t want to get ourselves in fake”

Finally, up to the sky we stare
In bright faces or positive dreams and all
then, we all yelled about “not to care!”
we don’t care to break or climb the wall